Kamis, 28 Agustus 2008

Pluralisme Islam


Pluralisme Islam
Oleh: Hamidah Boftem
“ Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”
(QS.109:6)
Indonesia sebagai negeri yang majemuk suku bangsanya merupakan gambaran nyata dari adanya heterogenitas budaya. Demikian pula dari segi keagamannya. Walaupun Islam dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini, namun terdapat agama-agama lain seperti, Protestan, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Perbedaan-perbedaan diatas mengantarkan manusia bahwa pluralitas (kehidupan beraneka ragam) tidak bisa ditolak.
Isu pluralitas yang marak belakangan ini membuat kita sebagai umat Islam harus mengerti bagaimana memahami pandangan Islam pluralitas. Islam pluralis adalah cara pandang pemeluknya yang mau mengerti dan memahami perbedaan. Menurut pendapat Muhamed Fathi Osman, pruralisme adalah sebuah pendekatan serius menuju konstitusi pemahaman yang lebih komprehensif terhadap perbedaan. Islam memandang perbedaan itu sebagai sunnatullah karena Tuhan memang sengaja menciptakan keragaman (pluralitas). Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran “ yakni ketika jadikan manusia dari berbagai jenis bangsa dan suku sebagai media untuk saling kenal-mengenal dan menghargai adanya perbedaan”. (Al-Hujarat [49]:13)
Dalam sejarah Islam sikap menghargai pluralitas telah lama di praktekkan, seperti dalam sejarah Islam awal, apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, yang mengelola pluralitas masyarakat Madinah. Pengelolahan pluralitas masyarakat secara positif ternyata mampu memadamkan ketegangan dan konflik berkepanjangan antarsuku Di Madinah lewat sebuah “konstitusi Madinah” . Tradisi mengelola semangat pluralitas yang dilakukan nabi Muhammad saw diikuti oleh pengikutnya, seperti Umar Ibn Al-Khattab yang mengeluarkan “Piagam Aelia”.
Menurut Max Dimont, Islam datang sebagai rahmat yang mengakhiri kezaliman penguasa Kristen Spanyol. Selama 500 tahun menciptakan sebuah negara Spanyol untuk tiga agama, Islam, Kristen dan yahudi dalam “satu tempat tidur”. Mereka bersama membangun peradaban yang besar dan mengesankan. Tetapi apa yang terjadi beberapa tahun terakhir pengaruh propaganda media Barat tentang ancaman terorisme dari dunia Islam dan adanya anggapan bahwa munculnya kelompok-kelompok militan dan teroris berasal dari orang-orang Islam semakin memperkuat stigma negative Barat. Orang-orang Islam diaggap sulit menghormati dan mengenali pluralitas, Islam diidentikkan dengan budaya kekerasan dan terror.
Guna mengurangi ketegangan yang ada kalangan muslim harus memahami doktrin agamanya sendiri dengan memotivasi diri untuk berbuat sebaik-baiknya bagi perdamain dunia. Al-Quran menganjurkan untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan (Qs. Al-Maidah [57.48]). Selain itu walaupun ada perbedaan dikalangan manusia namun demikin itu harus dilihat secara positif sebagai kebesaran Tuhan (Al-Rum [30]:20). Perbedaan merupakan sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesama manusia (Al-hujarat[49:13). Dari itu maka akan melahirkan sebuah pemahaman agama yang insklusif. Inklusifisme islam dimengerti sebagai cara pandang bahwa Islam merupakan agama terbuka yang menolak ekslusivisme dan absolutisme.
Berkaitan dengan kenyataan diatas pluralisme adalah kemestian sejarah yang harus di terima secara lapang dada oleh umat manusia, yang penting bagaimana menyikapi pluralisme sehingga tidak terjadi konflik. Oleh karena itu memahami pluralisme dengan cara berdialog adalah sebuah kearifan kita sebagai umat manusia. Dengan dialog diharapkan melahirkan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan yang melekat pada umat manusia, tentu saja dialog disini harus dibingkai dengan kesadaran bahwa perbedaan mustahil dihilangkan, ketulusan keikhlasan serta kejujuran menjadi syarat yang utama.

Tidak ada komentar: